JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menjalankan dua program prioritas besar yang memerlukan pengawasan lebih intensif untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Program tersebut adalah Quick Wins dan Indonesia Health Systems Strengthening (IHSS), yang masing-masing memiliki anggaran besar dan bertujuan untuk meningkatkan layanan kesehatan di Indonesia.
Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Minggu (9/3/2025).
Program Quick Wins memiliki anggaran sebesar Rp10,9 triliun dan bertujuan untuk memberikan pemeriksaan kesehatan gratis bagi 60 juta orang, meningkatkan status 66 RSUD kelas D/D Pratama menjadi kelas C, serta mempercepat pemberantasan TBC dengan target eliminasi pada tahun 2030.
Sementara itu, program IHSS dengan anggaran Rp63,5 triliun bertujuan memperkuat sistem layanan kesehatan melalui tiga proyek utama, yaitu Strengthening Indonesia’s Healthcare Referral Network (SIHREN), Strengthening of Primary Healthcare in Indonesia (SOPHI), dan Indonesia-Public Laboratory System Strengthening (InPLUS).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian terhadap kedua program ini untuk mengidentifikasi potensi risiko korupsi yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
Dalam Quick Wins, ditemukan sejumlah potensi penyimpangan yang perlu diperbaiki. Diantaranya adalah adanya peserta pemeriksaan kesehatan yang fiktif, standar layanan yang tidak jelas dalam seleksi penerima manfaat, serta risiko penggelembungan harga dan praktik persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa.
Disisi lain, program IHSS juga menghadapi sejumlah tantangan. KPK mencatat bahwa 14% dari rumah sakit penerima bantuan dalam proyek SIHREN tidak memiliki infrastruktur yang memadai, sementara 20% lainnya kekurangan tenaga medis. Kondisi ini berpotensi menyebabkan alat kesehatan yang disalurkan menjadi tidak terpakai, yang berujung pada pemborosan anggaran.
Proyek SOPHI pun tidak luput dari masalah, di mana distribusi alat kesehatan ke puskesmas mengalami kendala. Sebanyak 69% puskesmas mengusulkan alat yang sudah mereka miliki, 45% menerima alat yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan 34% puskesmas bahkan tidak mendapatkan alat yang diajukan. Selain itu, pengadaan alat dalam bentuk paket murah juga dinilai kurang efisien dan tidak ekonomis.
Sebagai tindak lanjut, KPK memberikan beberapa rekomendasi untuk mengatasi masalah ini:
1. Proyek SIHREN: Menunda pengiriman bantuan ke rumah sakit yang belum siap dari segi infrastruktur dan tenaga medis, serta melakukan validasi ulang terhadap seluruh rumah sakit penerima bantuan.
2. Proyek SOPHI: Melakukan verifikasi ulang menggunakan Aplikasi Sarana Prasarana Alat Kesehatan (ASPAK) dan meniadakan pengadaan alat kesehatan dalam bentuk paket dengan harga di bawah Rp5 juta agar lebih efisien.
Sedangkan untuk Proyek InPLUS, yang masih dalam tahap awal, KPK belum melakukan kajian mendalam.
KPK telah menyampaikan hasil kajian ini kepada Kemenkes dan berkomitmen untuk terus memantau jalannya implementasi program-program tersebut. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat sistem kesehatan nasional, memastikan anggaran digunakan secara efisien, dan memperbaiki layanan kesehatan untuk masyarakat Indonesia.
Dengan pengawasan yang ketat dan perbaikan yang berkelanjutan, diharapkan program-program ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat serta mengurangi potensi penyimpangan yang merugikan negara. (*red/InfoPublik)